Seorang teman dengan penuh rasa sedih bercerita tentang pengalaman
hidupnya yang membuatnya sakit. Setelah diam penuh keraguan,
akhirnya ia mampu membuka mulut menuturkan kisahnya;
“Seorang teman yang saya kagumi secara tiba-tiba tanpa alasan yang
saya ketahui kini berubah sikap. Dulu kami biasa bersama-sama,
bermain bersama, daki bukit bersama, atau makan bersama. Saya
berusaha mengingat lagi semua percakapan kami di saat-saat yang
telah lewat, berusaha demi langit dan bumi mencari alasan yang
membuat persahabatan kami menjadi sekian renggang pada akhir-akhir
ini. Aku berusaha menemukan dan menghilangkan batu sandungan yang
ada di antara kami. Namun semakin aku berusaha semakin pikiranku
menjadi gelap. Indahnya persahabatan yang telah dibangun kini berada
di pinggir jurang terjal.
Temanku seakan telah mengepak sisa-sisa persabatan kami dan kini
disimpannya secara rapi di dalam sebuah kotak yang tak akan pernah
dibuka lagi. Berhadapan dengan kenyataan ini, ada jutaan kata dan
rasa di dada ini yang tak dapat aku ucapkan. Setiap kali ketika aku
membongkar lagi kenangan masa silam, ketika aku melihat lagi
foto-foto kenangan yang penuh tawa dan ria, bathinku serasa semapin
pedih. Namun temanku tetap saja bersikap dingin, dingin dan
dingin...lebih dingin dari pada es batu di musim winter. Secara
perlahan akupun berubah dingin saat bertemu dengannya.
Waktu terus berlalu. Ketika aku menoleh lagi memperhatikan tapak
yang pernah kami tinggalkan bersama, aku menemukan bahwa di bathinku
masih ada kerinduan. Aku melihat sepasang tangan yang pernah terulur
memberikan bantuan ketika aku terjatuh. Aku mendengar kata-katanya
yang meneguhkan dan menguatkan ketika semangatku berubah layu. Aku
melihat senyumannya seakan memberikan dukungan. Ah ada kehangatan...
walau itu sudah berlalu. Aku berkata pada diriku, walau ia kini
tidak lagi seperti dulu, namun aku masih bisa menyimpan kenangan
akan dirinya di salah satu sudut bathin ini. Mungkin ketika bertemu
dengannya nanti ia akan tetap bersikap dingin. Namun itu adalah
pilihannya. Aku akan memilih untuk memberikan seulas senyum bila aku
masih diberi kesempatan bertemu dengannya nanti.
Yah... bagaikan menghadiri sebuah pesta. Pesta kini telah berakhir,
namun itu tak berarti bahwa kegembiraan dan tawa ria kini telah
ditutup. Kita masih bisa mengenang kembali kegembiraan pesta
tersebut. Kita tentu harus berpisah setelah pesta berakhir. Namun
pada saat seperti ini selayaknya kita melantunkan harapan bahwa
mereka akan dengan selamat tiba di tujuan akhir dari perjalanan
masing-masing.
Temanku selesai berkisah, dan aku masih di sampingnya mendengarkan
ungkapan hatinya. Dalam hatiku terdengar litani kasih bergaung
merdu, kasih sebagaimana ditinggalkan Paulus dalam suratnya: “Kasih
itu sabar, kasih itu murah hati..., Ia tidak pemarah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain. Kor 13: 4-5). Yah...kasih itu juga
memaafkan. Dan temanku yang kini duduk di sampingku telah mampu
melakukannya.
hidupnya yang membuatnya sakit. Setelah diam penuh keraguan,
akhirnya ia mampu membuka mulut menuturkan kisahnya;
“Seorang teman yang saya kagumi secara tiba-tiba tanpa alasan yang
saya ketahui kini berubah sikap. Dulu kami biasa bersama-sama,
bermain bersama, daki bukit bersama, atau makan bersama. Saya
berusaha mengingat lagi semua percakapan kami di saat-saat yang
telah lewat, berusaha demi langit dan bumi mencari alasan yang
membuat persahabatan kami menjadi sekian renggang pada akhir-akhir
ini. Aku berusaha menemukan dan menghilangkan batu sandungan yang
ada di antara kami. Namun semakin aku berusaha semakin pikiranku
menjadi gelap. Indahnya persahabatan yang telah dibangun kini berada
di pinggir jurang terjal.
Temanku seakan telah mengepak sisa-sisa persabatan kami dan kini
disimpannya secara rapi di dalam sebuah kotak yang tak akan pernah
dibuka lagi. Berhadapan dengan kenyataan ini, ada jutaan kata dan
rasa di dada ini yang tak dapat aku ucapkan. Setiap kali ketika aku
membongkar lagi kenangan masa silam, ketika aku melihat lagi
foto-foto kenangan yang penuh tawa dan ria, bathinku serasa semapin
pedih. Namun temanku tetap saja bersikap dingin, dingin dan
dingin...lebih dingin dari pada es batu di musim winter. Secara
perlahan akupun berubah dingin saat bertemu dengannya.
Waktu terus berlalu. Ketika aku menoleh lagi memperhatikan tapak
yang pernah kami tinggalkan bersama, aku menemukan bahwa di bathinku
masih ada kerinduan. Aku melihat sepasang tangan yang pernah terulur
memberikan bantuan ketika aku terjatuh. Aku mendengar kata-katanya
yang meneguhkan dan menguatkan ketika semangatku berubah layu. Aku
melihat senyumannya seakan memberikan dukungan. Ah ada kehangatan...
walau itu sudah berlalu. Aku berkata pada diriku, walau ia kini
tidak lagi seperti dulu, namun aku masih bisa menyimpan kenangan
akan dirinya di salah satu sudut bathin ini. Mungkin ketika bertemu
dengannya nanti ia akan tetap bersikap dingin. Namun itu adalah
pilihannya. Aku akan memilih untuk memberikan seulas senyum bila aku
masih diberi kesempatan bertemu dengannya nanti.
Yah... bagaikan menghadiri sebuah pesta. Pesta kini telah berakhir,
namun itu tak berarti bahwa kegembiraan dan tawa ria kini telah
ditutup. Kita masih bisa mengenang kembali kegembiraan pesta
tersebut. Kita tentu harus berpisah setelah pesta berakhir. Namun
pada saat seperti ini selayaknya kita melantunkan harapan bahwa
mereka akan dengan selamat tiba di tujuan akhir dari perjalanan
masing-masing.
Temanku selesai berkisah, dan aku masih di sampingnya mendengarkan
ungkapan hatinya. Dalam hatiku terdengar litani kasih bergaung
merdu, kasih sebagaimana ditinggalkan Paulus dalam suratnya: “Kasih
itu sabar, kasih itu murah hati..., Ia tidak pemarah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain. Kor 13: 4-5). Yah...kasih itu juga
memaafkan. Dan temanku yang kini duduk di sampingku telah mampu
melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar